BAB II
KOMPETENSI SARJANA

 

sarjanaBerdasarkan  hasil beberapa jajak pendapat (tracer study) yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, kompetensi sarjana di dunia kerja dibagi dua aspek. Pertama, aspek teknis berhubungan dengan latar belakang keahlian atau keahlian yang diperlukan di dunia kerja. Kedua, aspek non teknis mencakup motivasi, adaptasi, komunikasi, kerjasama dalm tim, pemecahan persoalan, manajemen stress dan kepemimpinan dsb.

Masing-masing dunia usaha/industri dapat memberikan sederet kompetensi teknis maupun non teknis yang berbeda. Namun, pada umumnya jenis kompetensi non teknis lebih banyak dibandingkan dengan kompetensi teknis.  Lihatlah iklan-iklan yang terpampang di papan pengumuman perguruan tinggi, atau di berbagai surat kabar. Beberapa persyaratan yang diminta oleh perusahaan yang acapkali muncul dapat dilihat pada daftar berikut:

  1. dapat bekerjasama dalam tim
  2. mampu berkomunikasi secara lisan maupun tulisan
  3. mampu menghadapi pekerjaan yang mendesak
  4. mampu bekerja di bawah tekanan
  5. memiliki ”great sense of services”
  6. mampu beradaptasi
  7. memiliki inisiatif dengan sikap dan integritas pada pekerjaan
  8. jujur, inovatif dan kreatif
  9. mampu bekerja mandiri, sedikit bimbingan
  10. memiliki kepemimpinan yang baik
  11. bertanggungjawab dan memiliki komitmen terhadap pekerjaan
  12. memiliki motivasi dan antusias dalam bekerja

Pada tahun 2007 Majalah Tempo telah memilih  10 Perguruan Tinggi karena lulusannya yang berkarakter. Karakter penting di dunia kerja yang dikemukakannya yaitu:

1. Mau bekerja keras
2. Kepercayaan diri tinggi
3. Mempunyai visi kedepan
4. Bisa bekerja dalam tim
5. Memiliki kepercayaan matang
6. Mampu berpikir analitis
7. Mudah beradaptasi
8. Mampu bekerja dalam tekanan
9. Cakap berbahasa Inggris
10. Mampu mengorganisasi pekerjaan

Sejalan dengan yang dinyatakan oleh manajemen sebuah perusahaan raksasa di bidang perkebunan di Indonesia,  bahwa telah terjadi kesenjangan persepsi antara dunia pendidikan tinggi dan industri. Perguruan tinggi memandang bahwa lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi dan lulus dalam waktu yang cepat (<4 tahun).  Sedangkan dunia industri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu mereka yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap yang baik. Di sisi lain,  sarjana baru lebih banyak yang memilih bekerja di belakang meja, di perkotaan dan tidak mau melakukan pekerjaan lapangan dengan tangan kotor, apalagi ditempatkan di pelosok. Oleh karenanya penulis sering memberi semangat dan salut kepada para lulusan yang masih mau mengabdikan diri di pelosok daerah, di pulau terpencil, seperti para dokter muda, atau sarjana pertanian yang masih berdedikasi di pantai-pantai atau perkebunan yang jauh dari sinyal HP.

Sehubungan dengan adanya perbedaan sudut pandang antara dunia industri dan pengharapan dari lulusan, maka perlu dibangun mind set yang sama dan pengembangan kepribadian atau perilaku. Sebagai contoh, salah satu indikator kebagusan program studi saat ini adalah jika lulusannya memiliki waktu tunggu yang singkat untuk mendapatkan pekerjaan pertama. Namun, industri mengatakan bukan itu, melainkan seberapa tangguh seorang lulusan untuk memiliki komitmen atas perjanjian yang telah dibuatnya pada pekerjaan pertama. Jika kontraknya 2 tahun, ya seharusnya diselesaikan selama 2 tahun, terlepas dari kenyamanan kondisi yang dihadapinya. Jika ternyata menurut ia kondisi yang dihadapi tidak memberi kenyamanan -- misal dalam gaji-- mengapa tidak dilakukan pembicaraan di awal sebelum mulai bekerja. Apabila tidak ada kepastian dalam jenjang karier karena sistem kontrak, mengapa tidak bicara baik-baik dan tidak muntaber (mundur tanpa berita).

Artinya, boleh jadi lulusan perguruan tinggi kurang dapat berkomunikasi saat ia melakukan negosiasi pekerjaan dengan perusahaan.  Banyak kejadian seorang lulusan enggan atau bahkan tidak dapat menentukan besar gaji yang diinginkan ketika ditanya oleh manajer personalia perusahaan. Namun setelah 2-3 bulan mereka mengeluh dengan kecilnya gaji yang diterima. Akhirnya mereka angkat kaki, tanpa memberitahukan pula.  Mungkin ada dua alasan mengapa mereka tidak dapat menentukan gaji yang diharapkan. Pertama,  ia malu untuk menyatakan harga kemampuan dirinya (kompetensinya). Kedua, ia berpendapat bahwa diterima di perusahaan untuk bekerja pertama kali saja sudah bagus.  Bagaimana agar proses pembelajaran kita saat ini dapat meningkatkan rasa percaya diri, yang akhirnya lulusan kita mampu menyatakan posisi  tawarnya dengan baik.

Peningkatan Adversity quotient menjadi penting, karena dapat memperbaiki ketahanan seseorang untuk menghadapi berbagai  keadaan, baik keadaan yang menyenangkan maupun yang sulit di pekerjaan.

Sebagian besar mahasiswa yang tidak pernah mengikuti kegiatan organisasi selama masa studi di perguruan tinggi, disinyalir lemah dalam kemampuan leadership, kemampuan berdiskusi dan berkomunikasi, kemampuan kerjasama dalam sebuah tim serta saling menghargai. Kejadian tahun 2006 membuktikan lulusan baru dengan IPK 3.8 diterima di suatu perusahaan, dan diberi kewenangan untuk membawahkan 75 orang pegawai. Diantara pegawai tersebut setengahnya berumur lebih dari 40 tahun. Ternyata dari kontrak 1 tahun masa percobaan dia hanya mampu menyelesaikan 4 bulan saja. Kenapa? Karena tidak tahan untuk memimpin orang yang lebih tua, lebih berpengalaman di perusahaan namun tidak memiliki kualifikasi sarjana. Lulusan ini kurang tahan terhadap keadaan yang sulit apalagi harus mentransformasi konflik antara perusahaan dengan buruh. Ternyata lulusan tersebut tidak pernah ikut aktif dalam organisasi mahasiswa.

dare to take risks

 

Sebaliknya sarjana yang semasa studinya aktif dalam berbagai organisasi, namun memiliki IPK lebih rendah lebih mampu bertahan di pekerjaan. Mereka pada umumnya memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi, manajemen stress dan kerjasama yang baik dalam pekerjaan.  Sebenarnya yang diinginkan oleh para pendidik maupun pengguna lulusan atau masyarakat luas yaitu sarjana yang memiliki pengetahuan luas, memiliki keterampilan untuk menggunakan ilmunya di dunia kerja dan bersikap serta berperilaku menurut etika dan norma yang berlaku di masyarakat. 

Jadi selain memiliki pengetahuan dan teknologi di bidangnya, juga mereka mampu untuk bekerja mandiri dan bekerjasama dalam tim, mampu berfikir logis dan analitis serta berkomunikasi secara lisan dan tulisan.  Bagaimana pun juga kompetensi inilah yang ingin dihasilkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Melalui peningkatan soft skills, diharapkan lulusan perguruan tinggi lebih mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan tinggi luar negeri. Sehingga suatu saat di era kesejagatan sarjana di Indonesia tetap menjadi pemain bukan penonton.

Sehubungan dengan itu, Departemen Pendidikan Nasional RI mencanangkan misinya bahwa pendidikan di Indonesia harus mampu menjadikan insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif. Insan Indonesia ke depan bukan hanya memiliki nilai akademik tinggi, namun mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dipelajarinya di kehidupan bermasyarakat dengan penuh tanggungjawab dan sikap perilaku yang baik dan mampu bersaing dengan kemampuan sumberdaya manusia di luar negeri. Sarjana di Indonesia diharapkan tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi semata, namun mampu berkomunikasi secara lisan dan tulisan, mampu berfikir analitis dan logis, serta mampu bekerjasama dalam tim disamping juga mampu bekerja mandiri.

 

 

Red Rose

TRINA

index_08